Pengembangan perkebunan di pedesaan telah membuka peluang kerja bagi masyarakat yang mampu untuk menerima peluang tersebut. Dengan adanya perusahaan perkebunan, mata pencaharian masyarakat tempatan tidak lagi terbatas pada sektor primer dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi telah memperluas ruang gerak usahanya pada sektor tertier. Bermacam sumber pendapatan yang memberikan andil yaitu pedagang (dagang barang-barang harian, dagang karet, tiket angkutan dan penjual es), pegawai (guru, pemerintahan desa), industri rumah tangga (industri tahu, roti, dan percetakan genteng), buruh kasar, nelayan, pencari kayu di hutan dan tukang kayu.
Selain besaran jumlah pendapatan pada masing-masing rumah tangga petani kelapa sawit, hal yang perlu dicermati dalam mengamati dampak pelaksanaan investasi perkebunan adalah timbulnya usaha-usaha baru yang dikelola oleh masyarakat. Kegiatan usaha tersebut pada dasarnya merupakan upaya pemanfaatan peluang usaha yang tercipta sebagai akibat adanya mobilitas penduduk, baik yang terpengaruh secara langsung maupun sebagai akibat usaha yang tercipta oleh adanya pengaruh tidak langsung dari pembangunan perkebunan yang memungkinkan terbukanya peluang usaha lainnya.
Suatu peluang usaha akan menjadi sumber pendapatan yang memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat jika mampu menangkap peluang usaha yang potensial dikembangkan menjadi suatu kegiatan usaha yang nyata. Dengan demikian kemampuan masyarakat memanfaatkan peluang yang ada akan dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam menangkap peluang itu sendiri. Yang kedua adalah kemampuan mengorganisir sumberdaya yang dimiliki sedemikian rupa sehingga peluang yang potensial menjadi usaha yang secara aktual dapat dioperasionalkan.
Walaupun tidak semua kegiatan perkebunan memberikan atau menyebabkan timbulnya sumber-sumber pendapatan bagi masyarakat, namun tergantung kepada jenis investasi perkebunan (inti atau plasma) dan sektor ekonomi yang akan dilakukan. Investasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh kepada sejauh mana manfaat kegiatan perkebunan memberi tetesan pada masyarakat sekitarnya. Kebijaksanaan pemerintah dan kemampuan masyarakat dalam memperoleh manfaat dari adanya pembangunan perkebunan sangat berpengaruh. Hal ini akan menentukan variasi sumber-sumber pendapatan yang muncul kemudian.
Secara umum dapat diungkapkan bahwa dengan adanya kawasan perkebunan telah menyebabkan munculnya sumber-sumber pendapatan baru yang bervariasi. Sebelum dibukanya kawasan perkebunan di pedesaan, sampel mengungkapkan sumber pendapatan masyarakat relatif homogen, yakni menggantungkan hidupnya pada sektor primer, memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia seperti apa adanya tanpa penggunaan teknologi yang berarti. Data lapangan mengungkapkan pada umumnya masyarakat hidup dari sektor pertanian sebagai petani tanaman pangan (terutama palawija) dan perkebunan (karet). Pada masyarakat di sekitar aliran sungai mata pencaharian sehari-hari pada umumnya sebagai nelayan dan pencari kayu di hutan. Selain teknologi yang digunakan sangat sederhana dan monoton sifatnya tanpa pembaharuan (dari apa yang mampu dilakukan). Orientasi usahanya juga terbatas kepada pemenuhan kebutuhan keluarga untuk satu atau dua hari mendatang tanpa perencanaan pengembangan usaha yang jelas (subsisten).
Kondisi sebelum pembangunan perkebunan dengan setelah adanya kegiatan perkebunan pendapatan masyarakat semakin beragam. Keragaman ini semakin memperkuat stabilitas struktur pendapatan rumah tangga karena memberikan alternatif pemasukan bagi keluarga pada saat sumber pendapatan lain mengalami kegagalan usaha. Dari seluruh sampel yang diamati, rataan pendapatannya sebesar Rp 3,404,123 per bulan, dan sekitar 7,76 persen bersumber dari pendapatan di luar perkebunan kelapa sawit.
Apabila ditinjau dari jenis kegiatan usahatani kelapa sawit terdapat terlihat perbedaan yang mencolok. Pendapatan rataan petani kelapa sawit plasma sebesara Rp 3,638,101, sedangkan pendapatan petani kelapa sawit swadaya sebesar Rp 2,688,819. Tingginya perbedaan ini lebih banyak disebabkan oleh beberapa hala, antara lain: 1) petani plasma lebih intensif dalam pengelolaan kebunnya dibandingkan petani swadaya; 2) kemampuan ekonomi petani plasma lebih baik sehingga mampu merawat kebun dan pembelian alsintan untuk keberhasilan usahatani kelapa sawit; 3) Terkain dengan harga, petani plasma lebih terjamin harga tandan buah kosong (TBS) karena dibeli oleh perusahaan inti melalui kopetasi petani, sementara harga di tingkat petani swadaya lebih distorsi karena ditentukan oleh pihak toke di daerah pedesaan; 4) Lokasi perkebunan petani swadaya pada umumnya berpencar, dan hal tersebut menyebabkan pihak toke di level desa punya alas an untuk menekan harga.
Kegiatan pembangunan perkebunan telah menimbulkan mobilitas penduduk yang tinggi. Akibatnya di daerah-daerah sekitar pembangunan perkebunan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan, terutama terhadap kebutuhan rutin rumah tangga dan kebutuhan sarana produksi perkebunan kelapa sawit. Dari sisi kebutuhan rumah tangga rata-rata pengeluaran petani setiap bulannya sebesar Rp 2.573.654. Pengeluaran terbesar adalah kebutuhan hidup keluarga yakni untuk keperluan harian (dapur) sebesar 63,15%. Rataan pengeluaran petani kepala sawit pola plasma sebesar Rp 2.727.867 per bulan, sedangkan untuk petani swadaya sebesar Rp 2.102.204 per bulan.
Pengeluaran terbesar kedua adalah untuk bidang pendidikan anak-anak yakni sebesara 18,39%. Tingginya pengeluaran untuk bidang pendidikan disebabkan karena kemampuan ekonomi keluarga telah mendukung untuk melanjutkan pendidikan anakanak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Hal tersebut terlihat dari tingkat pendidikan anak petani kelapa sawit pada umumnya telah menempuh jenjang pendidikan tinggi. Disamping itu untuk tingkatsekolah lanjutan atas (SLTA) pada umumnya sudah tersedia di ibukota kecamatan. Hal ini akan menekan biaya pendidikan anak sampai jenjang SLTA, karena anak sekolah dipedsaan tidak perlu melanjutkan pendidikannya di kota kabupaten.
Komponen pengeluaran untuk kebutuhan hidup petani adalah sembilan kebutuhan pokok. Transportasi berupa biaya operasional kendaraan pribadi dan ongkos angkutan umum. Komponen pengeluaran rekreasi, antara lain ke kota mengunjungi keluarga, anak, dan jalan-jalan. Untuk komponen pendidikan termasuk besar, karena kesadaran bagi petani untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Semua bentuk pengeluaran oleh petani apakah pengeluaran rutin atau pengeluaran untuk kebutuhan pemeliharaan kebun, pada umumnya dapat diperoleh di daerah, antara lain; pasar kecamatan, pasar desa, kedai-kedai, koperasi petani, atau pada pedagang keliling. Khusus untuk kebutuhan sarana produksi pada umumnya memakai alat hasil produksi daerah pedesaan (industri rumah tangga) seperti, angkong (gerobak), dodos, parang, engrek, tojok, dan cangkul. Sedangkan untuk jenis sprayer kebanyakan dibeli di pasar kabupaten.
Apabila dikaji dari struktur biaya pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang teknis operasionalnya dirancang lebih banyak menggunakan teknik manual, biaya yang berkaitan dengan tenaga kerja langsung serta tenaga teknis di lapangan memiliki porsi yang cukup besar. Berdasarkan hal tersebut, perputaran uang yang terjadi di lokasi dalam jangka panjang diperkirakan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah ini dengan tumbuhnya perdagangan dan jasa. Hal ini memberikan arti bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit di pedesaan menciptakan multiplier effect, terutama dalam lapangan pekerjaan dan peluang berusaha. Hasil analisis angka pengganda untuk konsumsi dan investasi di pedesaan digunakan rumus: K=(1/(1-(MPCxPSY)). Dimana: K adalah pengaruh ekonomi wilayah; MPC merupakan proporsi pendapatan petani yang dibelanjakan di daerah tersebut; dan PSY adalah bagian dari pengeluaran petani yang menghasilkan pendapatan di daerah tersebut atau persen kebutuhan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang dapat dipenuhi oleh wilayah setempat.
Dengan menggunakan rumus angka pengganda tersebut diperoleh nilai MPC = 0,856 dan nilai PSY =0,782. Sehingga diperoleh angka pengganda sebesar 3,03. Nilai ini dapat memberikan arti bahwa setiap pembelanjaan oleh petani kelapa sawit di lokasi dan sekitarnya sebesar Rp 100, secara sinerjik menjadikan perputaran uang di lokasi tersebut dan sekitarnya sebesar Rp 303,00 melalui bentuk-bentuk usaha, baik sektor riil maupun jasa.
Nilai-nilai tersebut diperoleh dengan dasar dan asumsi sebagai berikut:
1) Persentase pendapatan petani sawit dibelanjakan di wilayah setempat (MPC) sekitar 85,64 %.
2) Kebutuhan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang dapat dipenuhi di wilayah setempat (PSY) sebesar 78, 26 %, antara lain:
- · Kebutuhan peralatan pertanian ringan yang digunakan dalam kelola teknis diproyeksikan mampu dipenuhi oleh wilayah setempat.
- · Pengadaan sarana prasarana penunjang yang disediakan oleh perusahaan perkebunan, koperasi dapat dipenuhi oleh wilayah setempat.
Aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit yang melibatkan banyak tenaga kerja dan investasi yang relatif besar untuk industri hilirnya, diperkirakan secara positif merangsang, menumbuhkan dan menciptakan lapangan kerja serta lapangan berusaha. Melalui kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan selama proses kegiatan perkebunan kelapa sawit dan pembangunan industri hilirnya akan mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkages). Pada proses kegiatan ini akan muncul antara lain jasa kontruksi, jasa buruh tani, jasa angkutan, perdagangan pangan dan sandang, perdagangan peralatan kerja serta bahan dan material yang dibutuhkan selama proses tersebut. Sedangkan pada kegiatan ekonomi waktu pascapanen dan proses produksi akan mempunyai keterkaitan ke depan (foreward linkages). Proses foreward linkages yang diperkirakan akan muncul adalah sektor jasa, antara lain: angkutan, perhotelan, koperasi, perbankan, perdagangan, industri kecil di pedesaan yang memproduksi alat produksi pertanian (alsintan).
Dari segi penanaman investasi sektor perkebunan yang dilaksananakan, hampir semua daerah kabupaten/kota memanfaatkan investasi, kecuali kota Pekanbaru. Jika dilihat dari segi dampak ekonominya menunjukkan hasil yang menggembirakan yakni terjadinya jumlah uang beredar di pedesaan. Hal ini berdampak terhadap meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan, yang pada akhirnya meningkatnya mobilitas barang dan jasa. (Almasdi Syahza, 2003c).
Ada dua kemungkinan sebab mengapa fenomena ini terjadi. Pertama, investasi sektor perkebunan dan produk turunannya di daerah menyebabkan disparitas spasial antar daerah semakin mengecil. Hal ini lebih disebabkan investasi sector perkebunan lebih banyak menggunakan tenaga manual dibandingkan tenaga modern (peralatan), sehingga akan menambah pendapatan masyarakat didaerah sekitarnya; Kedua, kemungkinan pembangunan industri turunan kelapa sawit (PKS) di masing-masing daerah perkebunan juga menciptakan peluang kerja dan usaha bagi masyarakat tempatan, sehingga ini juga akan menambah daya beli masyarakat.