RIAU BERJUANG, MENGGAPAI HAK MELALUI BK CPO

Pembangunan perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk menekan tingkat kemiskinan dan keterbelakangan khususnya di daerah pedesaan, di samping itu juga memperhatikan pemerataan. Pembangunan pertanian yang berbasis perkebunan dalam arti luas bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat sehingga terjadi suatu perubahan dalam pola hidup masyarakat di sekitarnya. Dari sisi lain keberhasilan pembangunan perkebunan yang berbasis agribisnis kelapa sawit diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antar golongan masyarakat maupun antar daerah.

Perkembangan sektor pertanian khususnya subsktor perkebunan di wilayah Sumatera dan Kalimantan sangat cepat sekalai. Hal ini lebih banyak disebabkan karena hasil subsektor perkebunan  berorientasi ekspor. Khusus di Provinsi Riau, kelapa sawit merupakan komoditas primadona yang banyak diusahakan oleh masyarakat maupun badan usaha. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Riau (2011),  perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat secara tajam, yakni 966.786 ha pada tahun 2000 meningkat menjadi  2.258.553 ha pada tahun 2011. Selama periode tahun 2000-2011 tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 8,02% per tahun, sementara komoditas perkebunan lainnya seperti karet dan kelapa justru mengalami penurunan. Perluasan areal perkebunan diikuti dengan peningkatan produksi berupa Crude Palm Oil (CPO). Produksi sebesar 1.792.481 ton pada tahun 2000 meningkat menjadi 8.080.390 ton pada tahun 2012 dengan pertumbuhan rerata per tahun sebesar 13,37%.  Produksi tersebut didukung oleh pabrik kelapa sawit (PKS) sebanyak 146 unit dengan kapasitas olah sebesar 6.245 ton per jam.

Tingginya produksi kelapa sawit Riau telah memberikan kontribusi dalam perekonomian regioanl maupun nasional. Pada tahun 2011 hasil perdagangan kelapa sawit mencapai Rp84.206.274.048.000 dan pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi  Rp74.259.820.656.000. Dari hasil tersebut Riau telah memberikan kontribusi ke pusat melalui Biaya Keluar (BK) CPO yakni pada tahun 2011 sebesar Rp 13 triliun dan pada tahun 2012 BK CPO dari Riau sebesar Rp7.46 triliun.

Sejak diberlakukan kebijakan BK CPO, sampai saat ini belum ada ketentuan untuk pembagian hasil bagi daerah penghasil. Tingginya pungutan BK CPO yang diperoleh oleh pemerintah pusat merupakan kecemburuan bagi daerah penghasil. Seharusnya BK CPO yang dipungut oleh pemerintah sebaiknya didistribusikan kembali kepada daerah penghasil CPO dalam bentuk dana bagi hasil (DBH). Jika hal tersebut dilakukan tentu akan dapat dimanfaatkan bagi daerah penghasil untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur sebagi pendukung produktivitas kelapa sawit di daerah penghasil. Dari sisi lain juga dapat dimanfaatkan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat terutama yang berada di pedesaan.

Jika diamati perkembangan kelapa sawit di Daerah Riau cukup baik, bahkan memberikan tingkat kesejahteraan yang tinggi di daerah pedesaan, terutama bagi daerah yang menghasilkan kelapa sawit. Namun dari sisi lain bagi daerah yang tidak menghasilkan sawit kehidupan masyarakat pedesaan sangat memprihatinkan. Terutama mereka yang berusaha disektor tanaman pangan atau tanaman yang bukan berorientasi ekspor. Begitujuga bagi daerah wilayah pesisir yang bukan penghasil kelapa sawit terutama Kabupaten kepulauan Meranti dan  sebagian wilayah Kabupaten Indragiri Hilir.

Pembagian DBH CPO perlu dipertimbangkan bagi pemerintah pusat untuk sebagian dikembalikan ke daerah penghasil kelapa sawit. Dana tersebut akan dapat dipergunakan untuk perbaikan infrastruktur pendukung kepala sawit, antara lain: memperbaiki jalan produksi di pedesaan, perbaikan jembatan, peningkatan kapasitas jalan utama, pembangunan cluster kelapa sawit dan produk turunan. Barang kali DBH CPO juga dapat disitribusikan kepada daerah yang tidak menghasilkan kelapa sawit sebagai usaha pembangunan sumberdaya manusia, pembangunan pedesaan dan sarana pendukung lainnya.

Bertitik tolak dari kondisi tersebut, pemerintah Daerah Propinsi Riau melakukan kajian yang bertujuan untuk memperjuangkan supaya pemerintah pusat meninjau ulang kebijakan yang menguntungkan daerah penghasil CPO khususnya pembagian hasil dari BK CPO.

Penulis: Almasdi Syahza, Lembaga Penelitian Universitas Riau, 2013