Model Kelembagaan Ekonomi Perkebunan Kelapa Sawit

Dipublikasikan pada Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia Vo 40 No 2, Maret-April 2011, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Artikel lengkap

Dalam upaya pembangunan ekonomi di pedesaan, khususnya di luar Jawa, pemerintah mengambil satu kebijakan melalui pembangunan sektor pertanian yang difokuskan di daerah pedesaan. Untuk pembangunan ekonomi pedesaan tersebut pemerintah daerah telah mengembangkan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan dengan kelapa sawit sebagai komoditi utama. Ke depan perlu dirancang suatu model pengembangan perkebunan di pedesaan. Model kelembagaan tersebut bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan petani di pedesaan dalam bentuk Agroestate Berbasis Kelapa Sawit (ABK). Melalui program ABK, petani memperoleh kesempatan untuk membeli/memiliki saham di pabrik kelapa sawit (PKS) perusahaan pengembang. Model ABK merupakan konsep pembangunan perkebunan di pedesaan untuk masa datang, konsep ini berupa bentuk kerja sama dengan perusahaan pengembang.

Pendahuluan

Sektor agribisnis Indonesia memungkinkan untuk mampu bersaing guna merebut peluang pasar pada era perdagangan bebas. Di luar sektor agribisnis, bukan hanya sulit bersaing tetapi juga tidak mampu memberdayakan ekonomi rakyat. Pemihakan kebijakan pemerintah pada pengembangan sektor agribisnis dilevel makro perlu disertai dengan upaya mikro agar manfaat pembangunan dapat dinikmati oleh rakyat. Dimasa lalu kontribusi yang besar sektor agribisnis dalam perekonomian nasional ternyata tidak diikuti peningkatan pendapatan petani yang memadai. Oleh karena itu, dalam upaya pemberdayaan ekonomi rakyat, keberpihakan pada pembangunan sektor agribisnis secara nasional perlu disertai dengan suatu mekanisme yang menjamin bahwa manfaat pembangunan dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat yang ada di pedesaan. Pembangunan pedesaan harus dapat mengurangi ketimpangan antara desa dan kota.

Ketidakberdayaan masyarakat pedesaan salah satunya akibat kebijakan yang mismatch di masa lalu, yaitu kebijakan yang melupakan sektor pertanian sebagai dasar keunggulan komparatif maupun kompetitif. Bagi pemerintah Indonesia, pembangunan pedesaan selama ini mengacu kepada pembangunan sektor pertanian dan kemudian dikembangkan dalam bentuk agribisnis. Faktor yang mendukung prospek pengembangan agribisnis untuk masa datang, antara lain: 1) penduduk yang semakin bertambah sehingga kebutuhan pangan juga bertambah, ini merupakan peluang pasar yang baik bagi pelaku agribisnis; 2) meningkatnya pendapatan masyarakat akan meningkatkan kebutuhan pangan berkualitas dan beragam (diversifikasi). Keragaman produk menuntut adanya pengolahan hasil (agroindustri); dan 3) perkembangan agribisnis juga akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, meningkatkan pendapatan petani yang pada akhirnya diharapkan akan mengurangi ketimpangan pendapatan masyarakat.

Dalam upaya pembangunan ekonomi di pedesaan, khususnya di luar Jawa, pemerintah mengambil satu kebijakan melalui pembangunan sektor pertanian yang difokuskan di daerah pedesaan. Untuk pembangunan ekonomi pedesaan tersebut pemerintah daerah telah mengembangkan sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan dengan kelapa sawit sebagai komoditi utama.

Untuk mewujudkan tujuan pengembangan ekonomi kerakyatan, terutama disektor pertanian maka perlu dipersiapkan kebijakan strategis untuk memperbesar atau mempercepat pertumbuhan sektor pertanian, khususnya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengembangan agribisnis yang terencana dengan baik dan terkait dengan pembangunan sektor ekonomi lainnya.

Untuk itu perlu dirancang model pembangunan ekonomi pedesaan berbasis pertanian (agribisnis). Rancangan ini diharapkan akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi pedesaan baik dari subsektor perkebunan maupun nonperkebunan. Hasil penelitian ini dapat merumuskan kegiatan-kegiatan atau strategi apa yang mesti ditempuh oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk pengembangan pertanian ke depan dan strategi untuk pembangunan ekonomi pedesaan.

Model Kelembagaan Ekonomi Kelapa Sawit

Begitu pesatnya perkembangan luas areal perkebunan rakyat khususnya swadaya murni, maka perlu dirancang suatu model untuk menghindari ketimpangan pendapatan antara petani plasma dan swadaya. Model yang dirancang untuk peningkatan kesejahteraan petani di pedesaan adalah dalam bentuk Agroestate Berbasis Kelapa sawit (ABK).

Model yang disajikan ini dimaksudkan untuk mencoba menetralisir dikotomi-dikotomi dari pembagian keuntungan yang tidak adil antara petani kelapa sawit (plasma dan swadaya) dengan perusahaan inti, di samping untuk menjamin pengembangan perusahaan dan kelangsungan pabrik kelapa sawit (PKS) itu sendiri. Program pembangunan perkebunan kelapa sawit selama ini hanya terbatas untuk perkebunan rakyat (plasma) dan perkebunan perusahaan (inti). Pemilikan petani hanya sebatas kebun yang telah ditentukan dalam program plasma, sementara pabrik pengolah tandan buah segar (TBS) hanya dimiliki oleh perusahaan inti. Untuk ke depan perlu dipikirkan model bentuk kemitraan kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit, dimana petani memiliki kebun kelapa sawit dan pemilikan saham pada pabrik kelapa sawit (PKS). Petani membeli paket melalui koperasi yang terdiri dari kebun kelapa sawit dan saham PKS. Melalui program ABK ini petani memperoleh kesempatan untuk membeli/memiliki saham di PKS perusahaan inti.

Jaminan ketersediaan bahan baku secara kualitas, kuantitas maupun kontinuitas merupakan suatu keharusan untuk mencapai suatu agroindustri termasuk industri minyak sawit. Keterkaitan antara sumber penghasil bahan baku dan agroindustri kelapa sawit harus diintegrasikan ke dalam suatu pemilikan. Konsep kemitraan ini menekankan kepada azas kepemilikan bersama oleh petani baik usahataninya maupun pabrik pengolahannya, dimana pengelolaannya dilakukan oleh koperasi petani.

Aplikasi berorientasi kepada kesejahteraan petani melalui penekanan efesiensi pengolahan usahatani yang produktif serta peningkatan nilai tambah dalam konteks agribisnis, dimana kelembagaannya dirancang dalam jaringan kerja berdasarkan kemampuan dan profesionalisme yang dimiliki dari berbagai pelaku (aktor), yaitu pengusaha pengembang (developer usahatani), pabrik industri, permukiman petani peserta, petani peserta aktif, badan usaha pengelola (BUP) atau koperasi, atau manajemen pengelola (usahatani, pabrik industri ), dan lembaga pembiayaan.

Dalam model ABK ini terdapat dua kegiatan bisnis utama yaitu yang pertama, kegiatan bisnis membangun kebun dan pabrik industri serta jika diperlukan permukiman petani peserta yang akan dilakukan oleh perusahaan pengembang (developer); kedua, adalah bisnis mengelola kebun dan pabrik milik petani peserta serta memasarkan hasilnya yang dilakukan oleh badan usaha pengelola yaitu koperasi yang dibentuk oleh petani peserta itu sendiri. Model agroestate berbasis kelapa sawit (ABK) merupakan konsep pembangunan perkebunan di pedesaan untuk masa datang, konsep ini dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan pengembang.

Model ABK dirancang untuk pembangunan ekonomi masyarakat di pedesaan yang berbasis pertanian (perkebunan kelapa sawit). Model ABK ini bertujuan untuk membangun perkebunan berbasis kelapa sawit yang diperuntukkan bagi petani yang belum mempunyai lahan perkebunan dan atau bagi petani yang memiliki lahan tetapi tidak punya modal usaha untuk pengembangan usahataninya. Petani tersebut sama sekali tidak mempunyai lahan yang layak untuk jaminan kehidupannya atau tidak mempunyai lahan untuk hidup layak bagi keluarga petani.

Secara singkat konsep model Agroestate Berbasis Kelapa Sawit (ABK) yang akan melibatkan masyarakat pedesaan (bagi petani yang belum memiliki lahan perkebunan) disajikan pada Gambar 1 (lihat artikel Publikasi: http://almasdi.unri.ac.id).

Untuk lebih jelasnya model tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Perusahaan pengembang (developer) membangun kebun (usahatani) dan pabrik pengolahan hasil kebun (agribisnis) sampai kebun dalam bentuk siap menghasilkan dan pabrik industri dalam bentuk siap operasi. Sumber dana untuk membangun kebun pabrik dapat menggunakan dana sendiri atau pinjaman dari bank atau pihak lain yang memungkinkan.

2. Kebun dan pabrik yang sudah dibangun oleh developer dijual dalam bentuk unit kaveling atau saham pabrik kepada petani aktif yaitu petani yang benar-benar berminat untuk mengelola kebun dan pesertanya adalah masyarakat pedesaan. Sebagai pemilik kebun petani peserta akan menerima sertifikat pemilikan tanah dan sebagai bukti pemilikan pabrik petani peserta akan menerima surat berharga dalam bentuk lembaran saham.

3. Para petani peserta membeli kebun dan saham pabrik dengan menggunakan fasilitas kredit lembaga pembiayaan yang ada. Skim kredit ini difasilitasi ketersediaannya oleh pengusaha pengembang atau dapat pula oleh koperasi. Para petani peserta sebagai pemilik unit kavling menyerahkan pengelolaan (manajemen fee) yang besarnya telah ditentukan didalam kontrak manajemen berdasarkan kesepakatan. Perusahaan jasa manajemen akan mengelola kebun dan pabrik dengan prinsip-prinsip manajemen perkebunan yang terbaik dan profesional.

4. Kepemilikan modal PKS (pabrik kelapa sawit) bagi petani peserta dibatasi maksimum 40 % dari total modal kerja, selebihnya dimiliki oleh perusahaan inti dan saham pemerintah daerah. Ini bertujuan untuk menjaga profesional pengelolaan PKS. Model pemilikan saham dapat dilihat pada Gambar 2.

5. Dalam pengelolaan kebun, petani aktif dikelompokkan ke dalam kelompok petani hamparan (KPH) dan diperlukan sebagai tenaga kerja yang mendapatkan upah sesuai kesepakatan.

6. Pendapatan petani diharapkan cukup besar, karena dapat berasal dari berbagai sumber. Bagi petani aktif pendapatannya akan bersumber dari hasil panen kebun miliknya, upah kerja, dan dividen saham pabrik. Keunggulan lain adalah kontinuitas bahan baku untuk PKS akan terjamin karena petani merasa memiliki PKS sehingga kemungkinan menjual TBS ke PKS lain akan terhindar.

7. Perusahaan pengembang (developer) akan mengembalikan modal yang dipakai (dana sendiri, dan pinjaman dari lembaga pembiayaan) dan akan mendapatkan keuntungan dari hasil kebun dan saham pabrik industri yang telah dibangun.

Pengembangan model ABK bagi petani di pedesaan yang telah memiliki lahan untuk dikembangkan perkebunan kelapa sawit, namun mereka tidak mempunyai modal usaha yang memadai untuk pengembangan perkebunan, maka dikembangkan melalui model ABK pola kemitraan. Bentuk kegiatannya adalah pengembangan perkebunan melalui pemanfaatan fasilitas kredit dari lembaga keuangan perbankan atau non perbankan. Tujuannya adalah membangun dan membina perkebunan rakyat di wilayah baru atau wilayah yang sudah ada dengan teknologi maju agar petani mampu memperoleh pendapatan yang layak. Juga mewujudkan suatu sistem pengelolaan usaha yang bersifat agribisnis dengan memasukkan berbagai kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran hasil secara terpadu.

Pelaksanaan pembangunan perkebunan model ABK pola kemitraan dilakukan oleh perusahaan di bidang perkebunan yang ditunjuk sebagai perusahaan inti (mitra) dengan pembinaan dan dukungan instansi-instansi pemerintah daerah yang fungsinya terkait dengan pengembangan perkebunan. Kemitraan yang dianut dalam pengembangan usaha perkebunan dengan memanfaatkan fasilitas kredit adalah pola kemitraan inti dengan plasma (petani). Dalam hubungan kemitraan ini petani diwakili oleh suatu badan usaha yang dibentuk langsung oleh petani yaitu koperasi. Koordinasi pembinaan proyek perkebunan model ABK pola kemitraan ini dilaksanakan oleh Tim Pembina Proyek Perkebunan Propinsi dan Kabupaten yang dibentuk oleh Gubernur dan Bupati. Dengan demikian kemitraan antara perusahaan perkebunan dengan koperasi berlangsung secara utuh dan berkesinambungan.

Program ABK Pola Kemitraan memberikan peluang kepada petani peserta untuk memiliki saham pada PKS. Tatacara pemilikan sahan ini dapat diatur berdasarkan kesepakatan antara petani dalam hal ini diwakili oleh koperasi dengan perusahaan inti dan pemerintah melalui instansi yang terkait. Pada program ini disarankan pemilikan saham pada PKS sebaiknya melibatkan tiga komponen, yaitu: petani melalui koperasi; perusahaan inti; dan pemerintah daerah. Sedangkan komposisi dari pemilikan saham dapat diatur berdasarkan kesepakatan dari ketiga komponen tersebut. Rancangan pemilikan modal PKS melalui Program ABK Pola Kemitraan juga sama dengan model pemilikan modal pada ABK petani baru yang disajikan pada Gambar 2 (lihat artikel Publikasi: http://almasdi.unri.ac.id).

Pemberdayaan ekonomi pedesaan dengan model ABK Pola Kemitraan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Petani peserta ABK Pola Kemitraan adalah penduduk setempat yang memiliki lahan termasuk para petani yang lahannya terkena pembangunan kebun kelapa sawit KKPA atau yang belum dan sudah menjadi anggota koperasi.

2. Persiapan dan penetapan calon petani peserta dilakukan oleh pengurus koperasi diketahui kepala desa sebagai dasar pengesahan oleh bupati.

3. Para calon petani peserta diberi kesempatan untuk berperan serta dalam pembangunan kebun sebagai tenaga kerja.

4. Petani peserta mendapat hak berupa kebun kelapa sawit dengan luas sesuai dengan perjanjian kerja sama yang telah ditetapkan antara petani dengan koperasi dan perusahaan inti.

5. Petani peserta menerima hasil penjualan TBS setelah dipotong cicilan kredit dan kewajiban terhadap koperasi.

6. Petani peserta menerima sertifikat hak milik atas kebun kelapa sawit setelah lunas kredit.

7. Petani berhak meminta pertanggung jawaban pelaksanaan pembangunan kebun kepada pengurus koperasi melalui rapat anggota.

8. Para petani peserta harus patuh dan taat terhadap segala ketentuan yang telah ditetapkan dalam pembangunan kebun ABK Pola Kemitraan.

9. Petani berhak memperoleh kesempatan untuk membeli saham di PKS yang dibangun oleh perusahaan inti.

Artikel lengkap

Prof. Dr. Almasdi Syahza, SE., MP: Peneliti senior dan Pengamat Ekonomi Pedesaan di Lembaga Penelitian Universitas Riau.

email: asyahza@yahoo.co.id , website: http://almasdi.unri.ac.id

Daftar Pustaka

Almasdi Syahza., 2003. Paradigma Baru: Pemasaran Produk Pertanian Berbasis Agribisnis di Daerah Riau, dalam Jurnal Ekonomi, Th. VIII/02/Juli/2003, PPD&I Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara, Jakarta.

———————., 2005a. Analisis Daya Dukung Wilayah Terhadap Industri Hilir Kelapa Sawit di Riau. Jurnal Ekonomi, Th X/02/Juli/2005: PPD&I Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara, Jakarta.

———————., 2005b. Dampak Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Multiplier Effect Ekonomi Pedesaan di Daerah Riau, dalam Jurnal Ekonomi, Th. X/03/November/2005. Jakarta: PPD&I Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara.

———————., 2007a. Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Percepatan Pembangunan Ekonomi Pedesaan Berbasis Agribisnis di Daerah Riau, Penelitian Fundamental DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

———————., 2007b. Percepatan Pemberdayaan Ekonmomi Masyarakat Pedesaan dengan Model Agroestate Berbasis Kelapa Sawit, dalam Jurnal Ekonomi, Th.XII/02/Juli/2007, PPD&I Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara, Jakarta.

———————., 2007c. Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Dan Kesejahteraan Petani Di Daerah Riau, dalam Jurnal Sorot, Vol 1 No 2, Oktober 2007, Lembaga Penelitian Universitas Riau, Pekanbaru.

———————., 2008a, Percepatan Pembangunan Ekonomi Pedesaan Melalui Pemberdayaan Koperasi Berbasis Agribisnis Di Daerah Riau, DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

———————., 2008b, Model Pemasaran Produk Pertanian Berbasis Agribisnis Sebagai Upaya Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Pedesaan, dalam Jurnal Ekonomi, Th.XIII/01/Maret/2008, PPD&I Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara, Jakarta.

———————., 2009a, Perumusan Model Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemetaan Kelembagaan Ekonomi Berbasis Agribisnis Di Propinsi Riau, DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

———————., 2009b, Kelapa Sawit: Dampaknya Terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Pedesaan Di Daerah Riau (Penelitian Hibah Kompetensi Tahun I), DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

———————., 2010, Kelapa Sawit: Dampaknya Terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Pedesaan Di Daerah Riau (Penelitian Hibah Kompetensi Tahun II), DP2M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Wiwik Suhartiningsih., 2003, Membangun Agroindustri Berbasis Kelapa Sawit, dalam Usahawan Indonesia No 02/TH.XXXII Februari 2003, Lembaga Manajemen FE-UI, Jakarta.

Setiadi Wijaya, N.H., 2002, Membangun Koperasi dari Mimpi Buruknya, dalam Jurnal Usahawan Indonesia, N0. 07/TH. XXXI Juli 2002, Lembaga Manajemen FE UI, Jakarta,

Yuswar Zainal Basri., 2003, Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, dalam Usahawan Indonesia No 03/TH.XXXII Maret 2003, Lembaga Manajemen FE-UI, Jakarta.